BPDKITA.COM– Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran strategis sebagai “parlemen desa” yang menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah desa, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, di balik tugas mulia ini, isu insentif anggota BPD sering menjadi sorotan. Banyak yang mempertanyakan: haruskah insentif BPD disesuaikan dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)? Dengan mempertimbangkan tanggung jawab mereka, kondisi ekonomi desa, dan regulasi yang ada, artikel ini mengupas pro dan kontra wacana ini dengan sudut pandang humanis yang relevan untuk masa kini.
Peran dan Tanggung Jawab BPD: Berat, tapi Mulia
BPD bukan sekadar lembaga formalitas. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 110 Tahun 2016, BPD memiliki tugas krusial: menyusun rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menyalurkan aspirasi warga, dan mengawasi kinerja pemerintah desa. Anggota BPD, yang dipilih secara demokratis dengan 30% keterwakilan perempuan [], sering kali harus menghadiri musyawarah, menjaring aspirasi langsung ke masyarakat, hingga melakukan monitoring dan evaluasi. Tugas ini menuntut waktu, tenaga, dan komitmen, terutama di desa-desa terpencil dengan akses terbatas.
Namun, insentif BPD saat ini sering dianggap tidak sebanding. Berdasarkan Permendagri Nomor 47 Tahun 2016, insentif anggota BPD berkisar antara Rp500.000–Rp650.000 per bulan, dengan ketua BPD menerima Rp1,2 juta–Rp1,5 juta, wakil ketua dan sekretaris Rp600.000–Rp750.000 []. Angka ini jauh di bawah UMK di banyak daerah, misalnya UMK Jakarta 2025 yang mencapai Rp5,4 juta atau UMK Kabupaten Malang sekitar Rp3,2 juta [data Kemenaker, 2024]. Hal ini memicu pertanyaan: apakah insentif BPD perlu disesuaikan dengan UMK agar lebih adil?
Pro: Mengapa Insentif BPD Harus Sesuai UMK?
Beban Tugas yang Setara Pekerjaan Penuh Waktu
Anggota BPD sering kali menghabiskan waktu signifikan untuk musyawarah, pengawasan proyek desa, dan menjaring aspirasi warga, terutama di desa besar dengan dinamika kompleks. Seorang anggota BPD di Majalengka, seperti dikutip dari [ciayumajakuning.id], mengaku menghabiskan 3–4 hari seminggu untuk tugas BPD, belum termasuk biaya transportasi dan komunikasi []. Dengan UMK sebagai acuan, insentif yang lebih tinggi dapat mencerminkan pengakuan atas kerja keras mereka, sekaligus menarik kandidat berkualitas untuk menjadi anggota BPD.
Meningkatkan Kinerja dan Independensi
Insentif yang rendah berisiko membuat anggota BPD rentan terhadap tekanan eksternal, seperti suap dari pihak yang ingin memengaruhi keputusan desa, sebagaimana dilarang dalam Pasal 64 UU Desa []. Kenaikan insentif hingga mendekati UMK, seperti yang dilakukan Pemkab Malang sejak 2023 (dari Rp300.000–Rp450.000 menjadi Rp500.000–Rp750.000 per bulan) [], terbukti meningkatkan motivasi dan kinerja BPD. Insentif yang layak juga memungkinkan anggota BPD fokus pada tugas tanpa harus mencari penghasilan tambahan.
Keadilan Ekonomi di Tengah Inflasi
Dengan inflasi tahunan sekitar 2,5–3% [BPS, 2025], daya beli insentif BPD saat ini terus tergerus. UMK, yang disesuaikan setiap tahun berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bisa menjadi patokan yang adil untuk memastikan kesejahteraan anggota BPD. Seperti diungkapkan pengguna X, @DesaMajuID, “BPD kerja ngawasin dana desa miliaran, tapi gaji cuma ratusan ribu. Mana adil?” Kenaikan insentif sesuai UMK akan mencerminkan penghargaan terhadap peran strategis mereka.
Kontra: Mengapa Insentif BPD Tidak Harus Sesuai UMK?
Keterbatasan Anggaran Desa
Mayoritas dana untuk insentif BPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), yang bergantung pada Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD). Menurut [Kemendesa.go.id], rata-rata Dana Desa per desa pada 2025 adalah Rp800 juta–Rp1,2 miliar, dengan porsi besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Jika insentif BPD dinaikkan sesuai UMK, misalnya Rp3 juta per bulan per anggota, maka untuk 5–9 anggota BPD per desa, biaya bisa mencapai Rp15 juta–Rp27 juta per bulan, atau hingga 30% APBDes. Ini berisiko mengurangi anggaran untuk program lain, seperti ketahanan pangan atau pengelolaan sampah.
Sifat Tugas BPD yang Tidak Penuh Waktu
Meski tugas BPD penting, sebagian pihak berpendapat bahwa itu bukan pekerjaan penuh waktu. Banyak anggota BPD memiliki pekerjaan utama, seperti petani, pedagang, atau guru, sehingga insentif dianggap sebagai tambahan, bukan gaji utama. Di Minahasa Tenggara, misalnya, BPD menerima insentif setara Upah Minimum Provinsi (UMP), tetapi ASN yang menjadi anggota BPD harus memilih antara tunjangan ASN atau BPD untuk menghindari pendapatan ganda []. Hal ini menunjukkan bahwa insentif BPD tidak dimaksudkan sebagai penghasilan utama.
Variasi Kemampuan Ekonomi Antar Desa
UMK berbeda signifikan antar daerah, misalnya Rp5,4 juta di Jakarta versus Rp2,5 juta di beberapa kabupaten di Jawa Tengah [Kemenaker, 2024]. Jika insentif BPD disesuaikan dengan UMK, desa-desa dengan APBDes terbatas, terutama di wilayah tertinggal, akan kesulitan memenuhi standar tersebut. Hal ini bisa menciptakan ketimpangan antar desa, sebagaimana diungkapkan [sumedangraya.pikiran-rakyat.com], bahwa besaran insentif BPD bervariasi karena Peraturan Bupati (Perbup) sering menetapkan angka lebih tinggi dari Permendagri [].
Solusi Tengah: Keseimbangan antara Keadilan dan Realitas
Menimbang pro dan kontra, menyamakan insentif BPD dengan UMK mungkin ideal, tetapi sulit diterapkan secara seragam. Alternatif yang lebih realistis adalah:
Insentif Berbasis Kinerja: Selain insentif tetap, tambahkan tunjangan kinerja untuk anggota BPD yang aktif, seperti yang diterapkan di Kabupaten Malang []. Ini mendorong produktivitas tanpa membebani APBDes.
Penyesuaian Bertahap: Naikkan insentif secara bertahap sesuai kemampuan APBDes, dengan memprioritaskan desa-desa dengan pendapatan asli desa (PAD) lebih tinggi.
Pembiayaan Tambahan dari Pemkab: Seperti di Majalengka, Pemkab memberikan tambahan insentif Rp100.000–Rp200.000 per bulan dari APBD untuk mendukung BPD []. Ini bisa diterapkan di daerah lain.
Transparansi dan Musyawarah: Libatkan warga dalam musyawarah desa untuk menentukan besaran insentif, memastikan keseimbangan antara penghargaan untuk BPD dan kebutuhan pembangunan desa.
Penutup: Insentif yang Adil, Desa yang Sejahtera
Insentif anggota BPD yang sesuai UMK adalah wacana yang menggugah, mencerminkan aspirasi untuk menghargai peran strategis mereka dalam tata kelola desa. Namun, keterbatasan anggaran, sifat tugas yang tidak penuh waktu, dan variasi ekonomi antar desa membuat penyesuaian penuh dengan UMK sulit diterapkan. Solusi tengah, seperti insentif berbasis kinerja dan dukungan dari Pemkab, bisa menjadi jalan keluar yang adil dan realistis. Seperti kata seorang warga di X, @WargaDesa_, “BPD itu jantungan desa, tapi insentifnya harus sesuai kemampuan desa, biar adil buat semua.” Mari kita dukung BPD dengan insentif yang layak, agar mereka terus menjadi mitra pemerintah desa dalam mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera. Apa pendapat Anda? Bagikan di kolom komentar!***
Posting Komentar untuk "Haruskah Insentif Anggota BPD Sesuai UMK?"