BPDKITA.COM – Dalam tata kelola pemerintahan desa, istilah “mitra sejajar” antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sering digaungkan, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, apa sebenarnya makna dari kemitraan sejajar ini? Apakah hanya jargon formal atau ada nilai mendalam yang dapat memperkuat pembangunan desa? Di tengah dinamika desa saat ini, di mana tantangan seperti pengelolaan anggaran hingga konflik kepentingan masih kerap muncul, konsep ini memiliki relevansi besar. Mari kita kupas makna kemitraan sejajar ini dengan sudut pandang humanis, disertai fakta dan realitas lapangan.
Makna Mitra Sejajar: Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Menurut Pasal 55 UU Desa 2014, BPD berfungsi sebagai mitra kerja Kepala Desa dalam menyusun peraturan desa, menampung aspirasi masyarakat, dan mengawasi kinerja pemerintahan desa. Istilah “mitra sejajar” menegaskan bahwa Kepala Desa dan BPD memiliki kedudukan setara, bukan hierarkis, di mana tidak ada pihak yang mendominasi. Kepala Desa sebagai eksekutif menjalankan kebijakan, sementara BPD sebagai legislatif desa memastikan kebijakan tersebut selaras dengan kepentingan warga.
Makna kemitraan ini adalah kolaborasi yang saling melengkapi. Kepala Desa membawa visi pembangunan, seperti program ketahanan pangan atau pengelolaan sampah berbasis Zero Waste Cities, sementara BPD memastikan visi tersebut lahir dari aspirasi warga melalui musyawarah. Seperti diungkapkan oleh seorang Ketua BPD di Banyumas dalam [Kompas.com], “Kami bukan musuh Kepala Desa, tapi rekan yang saling mengingatkan demi desa yang lebih baik.” Kemitraan sejajar mencerminkan semangat gotong royong, di mana kedua pihak bekerja untuk tujuan yang sama: kesejahteraan desa.
Realitas di Lapangan: Tantangan Kemitraan
Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Data dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) menunjukkan bahwa 30% desa di Indonesia mengalami ketegangan antara Kepala Desa dan BPD, terutama terkait pengelolaan Dana Desa yang mencapai Rp70 triliun pada 2025 [Kemendesa.go.id]. Konflik ini muncul ketika BPD dianggap “terlalu kritis” dalam pengawasan atau Kepala Desa dianggap otoriter, mengabaikan musyawarah. Misalnya, di beberapa desa di Jawa Tengah, BPD mengeluhkan kurangnya transparansi dalam laporan keuangan desa, sementara Kepala Desa merasa BPD menghambat program pembangunan [Detik.com].
Postingan di X dari @DesaBersatu mencerminkan sentimen ini: “BPD dan Kepala Desa harusnya satu hati, tapi kadang ego bikin ribut. Padahal warga cuma mau desa maju.” Minimnya komunikasi, rendahnya kapasitas anggota BPD dalam memahami regulasi, dan insentif BPD yang rendah (Rp500.000–Rp1 juta per bulan, jauh di bawah UMK) turut memperumit kemitraan. Insentif yang tidak memadai, seperti dibahas dalam [sumedangraya.pikiran-rakyat.com], membuat anggota BPD kurang termotivasi, sehingga pengawasan dan musyawarah sering kali tidak optimal.
Mengapa Kemitraan Sejajar Penting?
Kemitraan sejajar antara Kepala Desa dan BPD memiliki makna strategis untuk pembangunan desa yang inklusif dan transparan:
Menjamin Demokrasi Desa
BPD adalah representasi suara rakyat, dengan minimal 30% keterwakilan perempuan, sesuai Permendagri Nomor 110 Tahun 2016. Ketika BPD dan Kepala Desa bekerja sejajar, kebijakan desa seperti pengelolaan sampah atau ketahanan pangan akan mencerminkan kebutuhan warga, bukan kepentingan segelintir pihak. Contohnya, di Desa Panggungharjo, Yogyakarta, kemitraan yang harmonis menghasilkan program pengelolaan sampah yang sukses, diakui oleh [Kemendesa.go.id].Meningkatkan Akuntabilitas
Pengawasan BPD terhadap Dana Desa mencegah penyalahgunaan anggaran, yang menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai 252 kasus dalam tiga tahun terakhir. Kemitraan sejajar memastikan checks and balances, di mana BPD dapat meminta laporan keuangan tanpa harus memusuhi Kepala Desa.Memperkuat Kebersamaan
Kemitraan sejajar mencerminkan nilai musyawarah mufakat, warisan budaya Indonesia. Ketika Kepala Desa dan BPD saling menghormati, warga akan melihat teladan kepemimpinan yang inklusif, seperti di Desa Kemiren, Banyuwangi, yang berhasil mengembangkan desa wisata melalui kolaborasi erat kedua pihak [Antaranews.com].
Solusi untuk Memperkuat Kemitraan Sejajar
Agar kemitraan sejajar tidak hanya jadi slogan, beberapa langkah perlu diambil:
Pelatihan Kapasitas Bersama: BPD dan Kepala Desa perlu dilatih bersama tentang regulasi, pengelolaan anggaran, dan komunikasi efektif. Program seperti Desa Cerdas dari Kemendesa bisa menjadi wadahnya.
Insentif yang Layak untuk BPD: Meski tidak harus setara UMK, insentif BPD perlu dinaikkan, misalnya melalui tunjangan kinerja, seperti diterapkan di Kabupaten Malang [malangtimes.com]. Ini akan meningkatkan motivasi BPD dalam menjalankan tugas.
Forum Komunikasi Reguler: Musyawarah rutin antara Kepala Desa dan BPD, dengan melibatkan warga, dapat mencegah miskomunikasi dan membangun kepercayaan.
Transparansi Publik: Publikasikan laporan Dana Desa melalui papan informasi desa atau media sosial untuk memperkuat pengawasan bersama, sebagaimana dianjurkan [Kemendagri.go.id].
Penutup: Kemitraan Sejajar untuk Desa yang Maju
Kepala Desa dan BPD sebagai mitra sejajar bukan sekadar konsep hukum, tetapi cerminan semangat gotong royong untuk membangun desa yang mandiri dan sejahtera. Maknanya terletak pada kolaborasi yang saling menghormati, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan warga. Meski tantangan seperti konflik ego dan keterbatasan sumber daya masih ada, dengan komunikasi yang baik, pelatihan, dan dukungan insentif yang layak, kemitraan ini bisa menjadi motor penggerak pembangunan desa. Seperti kata seorang warga di X, @WargaDesaID, “Kalau Kepala Desa dan BPD kompak, desa kita pasti maju!” Mari dukung kemitraan sejajar ini demi mewujudkan visi “Desa Makmur Indonesia Maju.” Apa pandangan Anda? Bagikan di kolom komentar!
Posting Komentar untuk "Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa adalah Mitra Sejajar, Apa Maknanya?"